Ivermectin Tidak Terbukti Bisa Sembuhkan Pasien Covid 19
Ivermectin Tidak Terbukti Bisa Sembuhkan Pasien Covid 19 |
Informasi Kesehatan Terupdate - Ivermectin masih jadi perbincangan hangat di Indonesia yang sedang menghadapi pandemi COVID-19. Obat cacing ini dipercayai sebagian kalangan dapat menghambat replikasi virus Corona. Pendapat berbeda dilontarkan Dr Faheem Younus dalam Simposium COVID-19, Sabtu (17/7/2021).
Sebagai seorang dokter dan ilmuwan, Dr Faheem Younus mengungkapkan alasannya. Berdasarkan studi skala kecil, menyatakan bahwa Ivermectin dapat menyembuhkan pasien COVID-19. "Tapi menurut studi metaanalisis yang menggunkan ribuan sampel, Ivermectin tidak terbukti dapat menyembuhkan."
Selain itu Dr Faheem juga menyontohkan negara-negara yang telah berhasil mengendalikan COVID-19. tidak menggunakan obat ini sebagai terapi penyembuhan COVID-19.
PromoDomino | Agen Domino | Domino Online | Agen Domino99 | Agen Poker | Bandar Q | Agen QQ
"Taiwan, Cina, Autralia, Selandia Baru, Korea Selatan dan Amerika, mereka tidak menggunakan Ivermectin. Berdasarkan bukti ini, saya yakin Ivermectin tidak seharusnya dipakai."
Di Indonesia sendiri, Ivermectin baru mendapat izin untuk uji klinis seperti yang dikeluarkan BPOM. Menurut Kepala BPOM, Penny Lukito, sampai saat ini, Ivermectin adalah obat uji untuk pengobatan COVID-19.
Baca Juga : 23 Juta Anak di Dunia Lewatkan Imunisasi Dasar di 2020
"Ada dua yang punya EUA yaitu Remdesivir dan Favipiravir. Kalau Ivermectin adalah obat uji untuk pengobatan COVID-19," kata Penny kepada Health Liputan6.com.
European Medicines Agency (EMA) tidak memberikan rekomendasi untuk Ivermectin digunakan sebagai obat COVID-19. Ivermectin hanya disetujui untuk obat cacing dan obat untuk hewan mengatasi parasit.
Berdasarkan keputusan Maret 2021, badan obat-obatan Uni Eropa itu menyebut studi-studi tentang Ivermectin masih terbatas dengan hasil bervariasi.
"Hasil-hasil dari studi klinis bervariasi, sebagian studi menunjukan tak ada benefit (dari ivermectin) dan lainnya melaporkan potensi benefit," tulis European Medicines Agency, dikutip Senin (5/7/2021).
Mayoritas studi yang ditinjau oleh EMA juga kecil serta terbatas. Dosisnya juga berbeda-beda dan ada penggunaan obat tambahan.
Sumber : Liputan6.com
0 comments:
Post a Comment